HARI ini selama 24 jam, berbagai peristiwa di belahan dunia begitu cepat bisa kita lihat, tanpa perlu menunggu disiarkan oleh kantor berita lalu dicetak, tetapi bisa langsung dilihat di smartphone lewat media sosial. Blogging, menulis tweet, dan berkirim podcast telah membuka berbagai cara baru untuk berbagi informasi dan berekspresi. Jurnalis warga menambah jumlah berita yang beredar lewat handphone, terutama saat terjadi bencana dan konflik. Terbukanya jalan menuju media baru (new media) memperlebar kesempatan untuk berdialog, bertukar pikiran dan berbagi pengetahuan dan informasi. Bahkan dalam banyak hal, media sosial mulai menunjukkan kekuatannya yang signifikan. Di sisi lain, ancaman terhadap media sosial sudah hadir baik dari sisi internal maupun eksternal."Selama 20 tahun sejak munculnya World Wide Web dari internet dengan peramban (browser) Mosaic pada tahun 1993 oleh National Center for Supercomputing Applications (NCSA) di University Illinois Urbana-Champaign, kita merasakan bagaimana terobosan dalam teknologi komunikasi dan informasi ikut mengubah wajah dunia. Kini setiap warga memiliki kemampuan untuk menyuarakan opininya dan mengakses beragam informasi yang ada dikarenakan perkembangan teknologi informasi. Bahkan bisa dikatakan, ikut menyertai perjuangan kebebasan pers dunia."
Melalui tulisan berikut ini, mari mengikuti perkembangan media sosial di Indonesia sejak populernya internet pada kurun waktu 1994 sampai 2013 dan berusaha mengenali apa saja yang telah terjadi dalam 20 tahun terakhir dalam kerangka melihat relasi media (sosial) dan kekuasaan.
Petaka Media: 1994
Pada 20 tahun yang lalu, masyarakat Indonesia masih mengandalkan cara mendapatkan informasi melalui media konvensional: koran, majalah, radio dan televisi. Selain itu, internet baru diperkenalkan ke masyarakat Indonesia, selisih setahun dari kepopulerannya di Amerika Serikat. Internet Service Provider (ISP) baru muncul sehingga orang mulai mempunyai email pribadi dan bisa berselancar dengan peramban Netscape Navigator, yang dikembangkan dari pendahulunya NSCA Mosaic. Dengan internet, orang mulai tukar menukar informasi melalui email, meskipun tradisi menulis surat masih sangat kuat.
Di zaman Orde Baru, kontrol informasi berjalan begitu kuat mulai dari aturan surat izin terbit yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan, intervensi ke meja redaksi oleh rezim, hingga pembunuhan wartawan. Salah satu kontrol informasi dikenal dengan nama bredel (dari kata breidel yakni pembatasan), yang dianggap “pencabut nyawa” bagi media yang kritis. Begitu dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dengan seketika media tersebut tidak bisa beroperasi. Praktek bredel ini merupakan warisan ketakutan pemerintah kolonial atas media pers yang dikelola kaum nasionalis. Untuk mengatasinya dikeluarkan haatzai artikelen, yaitu undang-undang yang mengancam pers apabila dianggap menerbitkan tulisan-tulisan yang “menaburkan kebencian” terhadap pemerintah.
Pada tanggal 21 Juni 1994, SIUPP tiga media besar di Indonesia yakni Detik, Tempo, Editor dicabut Departemen Penerangan. Lewat Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994, ketiga media ini ditutup karena dianggap tidak menyelenggarakan kehidupan pers Pancasila yang sehat dan bertanggung jawab sehingga mengganggu stabilitas nasional. Meskipun bertentangan dengan Undang-undang Pers yang saat itu berlaku, UU Nomor 21 Tahun 1982, kekuasaan yang otoriter menyebabkan ada kebuntuan informasi.
Kebuntuan informasi ini segera disikapi oleh kalangan media saat itu. Setelah pembredelan terjadi, pada bulan Agustus 1994 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) didirikan dan AJI menerbitkan majalah Suara Independen. Isinya menyebarluaskan informasi yang seringkali bertolak belakang dengan informasi yang telah disetir oleh kekuasaan otoriter di bawah Soeharto. Tapi tak lama, tiga orang yang bergiat di majalah yang menyiasati seolah penerbitannya berada di Australia itu, Ahmad Taufik, Danang KW, dan Eko Maryadi, akhirnya ditangkap dan dipenjara.
Sensor informasi semakin menjadi-jadi dan pers berada di titik petaka. Sadar bahwa tidak bisa bergerak bebas, masyarakat mulai mencari informasi alternatif. Setahun berlalu, internet mulai digemari anak muda. Apalagi saat itu, Yahoo! sudah memulai jasa pembuatan email gratis sehingga orang berlomba untuk memiliki email gratis. Search engine, mailing-list, internet relay chat (IRC) semakin akrab dengan masyarakat sehingga tercetus gagasan untuk memanfaatkannya sebagai lalu lintas informasi alternatif, pengganti yang buntu tadi itu.
Pada tahun 1994, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yakni gerakan mahasiswa untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia sudah menggunakan email untuk berbagi informasi dan koordinasi. Dikembangkan dengan sistem Sentra Informasi untuk mencegah terlacaknya informasi SMID oleh intelejen negara, jaringan email pro demokrasi ini mayoritas berisi runtutan kronologis berita aksi mahasiswa/buruh yang dikirim oleh anggota SMID dan update beritanya sewaktu terjadi penangkapan terhadap mahasiswa atau buruh yang berdemonstrasi ke Sentra Informasi yang berada di luar negeri, untuk lalu dikirim lewat email kepada organisasi dan pribadi-pribadi yang memerlukan berita alternatif untuk mengimbangi media yang terhegemoni oleh kekuasaan. Meskipun berita-berita ini masih beredar secara terbatas, namun sudah ada kesadaran menggunakan internet untuk perubahan sosial.
Jalan Lain: 1996
Di bawah tanah, tersembunyi dalam identitas palsu, digalang sebuah organisasi layanan berita internet yang dikelola oleh sebuah jaringan rahasia. Penggagas jaringan rahasia ini adalah Goenawan Mohammad, pemimpin redaksi Majalah Tempo. Di saat ia maju untuk memperjuangkan status hukum Majalah Tempo di Mahkamah Agung, secara sembunyi-sembunyi, jaringan ini dipersiapkan untuk bekerja secara rapi. Jaringan rahasia ini kemudian dikenal dengan nama “Blok M” dan Irawan Saptono menjadi koordinatornya. Irawan bertugas mengatur nama palsu seperti Ghufron, Tosca, dll., menyiapkan tempat persembunyian, dan menulis laporan untuk dikirim ke John MacDougall.
Blok M bekerjasama dengan Nusanet dan mailing-list apakabar@clarks.net yang dimoderatori oleh John MacDougall, sehingga berita yang ditulis oleh Blok M kemudian diposting oleh John MacDougall di mailing-list apakabar dan dengan sendirinya meluas masuk ke ruang-ruang privat lewat email pribadi. Berita ini kemudian disebarkan lagi antar mailing-list atau bisa juga diforward. Saat itu Blok M mengelola enam layanan berita bawah tanah ini: Pipa untuk berita umum, Bursa untuk berita ekonomi. Lalu ada SiaR untuk berita umum, Istiqlal untuk opini, Matebeam untuk berita dari Timor Timur, Mambramo untuk berita dari Papua, Meunasah untuk berita dari Aceh, TNI Watch untuk berita tentang TNI, dan Goro-Goro tentang lelucon politik. Dua yang pertama segera ditutup karena “tidak aman”. Selain itu, Blok M juga menerbitkan media cetak yaitu X-Pose dan Bergerak!
Di saat yang sama, kelompok-kelompok pro demokrasi lain juga mulai menggunakan email mengikuti pola yang ada, termasuk juga membentuk mailing-list baru dengan keragaman tema. Tujuannya tetap sama: menggunakan internet sebagai “jalan lain” untuk melawan sensor dan represi informasi oleh kekuasaan otoriter Orde Baru.
Di luar kelompok jurnalis, mahasiswa merintis “jalan lain” untuk melawan hegemoni informasi. Dengan memanfaatkan lalu lintas informasi melalui email, mahasiswa membangun webzine/webportal untuk menyuarakan pendapat mahasiswa-mahasiswa di Indonesia mengenai kondisi sosial masyarakat dan negara.
Pada Mei 1998, diluncurkan KQ ONLINE Kampus & Kita di http://www.bubu.com/kampus yang dimotori oleh Lembaga Pendidikan, Penerbitan, dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M) bekerjasama dengan Bubu.net. Media baru ini berbentuk webzine, bentuknya berbeda dengan mailing-list dan menawarkan tempat untuk berkomentar lewat forum diskusi online. Lembaga yang sama mencetak koran pamflet Mahasiswa Bergerak dan membangun basis data informasi di website berisi terjemahan tulisan, risalah, berita untuk dipakai oleh publik secara bebas. Mahasiswa-mahasiswa bekerja di kampusnya masing-masing, mengirim berita melalui email, dan secara berkala webzine dan website ini diperbaharui isinya. Setiap kali ada bahan baru, informasi ini disebarkan melalui mailing-list yang ada kepada publik.
Barulah pada Juli 1998, muncul portal berita Detik.com yang dikelola oleh Budiono Darsono, wartawan eks Detik dan kawan-kawannya. Sejak itu, kebebasan informasi menemukan “jalan lain” karena adanya perkembangan teknologi informasi dan tercatat memiliki kekuatan untuk membuat perubahan sosial yang berarti.
Ledakan Informasi: 1999-2000
Tumbangnya Orde Baru otomatis mengubah lanskap media konvensional. SIUPP tidak lagi menjadi momok dengan dibubarkannya Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Secara luar biasa, jumlah media meningkat drastis. Dari situasi ketika informasi dibatasi di zaman kekuasaan Soeharto, kini informasi meluap-luap. Tak hanya di media konvensional, media digital pun juga mengalami hal yang sama. Selain Detik.com, muncul juga Astaga.com yang mendapat investasi besar dari Afrika Selatan hingga portal-portal berita lain yang terus bermunculan.
Sayang pada akhirnya media-media yang begitu banyak ini tutup satu per satu bukan karena aturan sensor dari kekuasaan, tetapi karena sebab-sebab yang sifatnya internal dari dirinya sendiri: mismanajemen, kegagalan menguasai distribusi, perolehan iklan yang sedikit, dll. Masyarakat sendiri sudah mulai pintar untuk memilah informasi dari media, karena mereka mulai mengenal beragam sumber informasi, baik lewat media konvensional maupun dari media digital. Ancaman pada media di periode ini adalah kurangnya verifikasi berita dan plagiatisme informasi.
Media (Jejaring) Sosial: 2002-sekarang
Mulai tahun 2002, perkembangan teknologi informasi memasuki era social networking website atau media sosial. Lewat Friendster (2002), Myspace (2003), Facebook (2004), setiap individu bisa menjadi “media”. Ia dapat menyebarkan opininya secara lebih luas dan berdiskusi secara intens menggunakan media sosial. Saling bertukar informasi dalam bentuk tulisan, foto, rekaman suara, video terus menerus difasilitasi oleh media sosial yang tingkat pertumbuhannya begitu pesat. Kegiatan menulis di blog yang disebut blogging, menulis status lewat twitter, menunjukkan minat lewat pinterest dan lainnya membuat masyarakat di zaman sekarang menjadikan media sosial sebagai kebutuhan hidup yang tidak bisa terpisahkan, layaknya kebutuhan makan/minum, papan, dan ekonomi.
Kekuatan media sosial yang pada awalnya berada pada kelompok pro demokrasi (1996), kemudian mahasiswa (1998), kini terdistribusi ke setiap individu. Hal ini sejalan dengan lanskap global internet, dimana awal kelahirannya komunikasi dua arah hanya dinikmati oleh 1% pada 1993, 51% pada 2000, dan lebih dari 97% pada 2007. Bahkan Yanuar Nugroho dan Shita Laksmi lewat penelitiannya “Citizens in @ction” menemukan bagaimana 258 kelompok-kelompok yang mereka teliti telah membangun demokrasi bottom-up yang akan mendukung kehidupan demokrasi yang lebih sehat.
Melihat sejarah relasi media dan kekuasaan di Indonesia, success story media sosial pada perubahan sosial yang diteliti oleh Yanuar Nugroho, serta statistik kekuatan media sosial yang ada sekarang, tak heran bila Ulin Yusron dalam tulisan “Sosial Media Sebagai Angkatan Kelima Pilar Demokrasi”, 20 Februari 2013, berharap media sosial dapat menjadi pilar kelima untuk menggantikan pers yang kini dikuasai oleh kekuatan modal dan politik, serta menjadi “pedang tajam yang mengiris ketidakadilan”. Harapan yang demikian tinggi ini disertai dengan sejumlah prasyarat yang menurut Ulin harus disertai agar media sosial menjadi gerakan sosial (melawan kekuasaan).
Ulin menulis di Beritasatu.com, “Pertama, akun di media sosial adalah akun yang jelas kredibilitasnya dan bersumber dari orang sungguhan… Kedua, sosial media … bersiaplah untuk menghadapi bullying… Ketiga …(harus)… melibatkan tokoh-tokoh yang memiliki pengikut dalam jumlah besar. Keempat … menggelar rapat-rapat offline untuk merumuskan strategi, taktik, organisasi dan program yang jelas.” Namun sayang dalam tulisan tersebut, saat Ulin menggadang-gadang kekuatan media sosial, ia tidak menyertai dengan ancaman-ancaman nyata yang kini sudah menghadang aktivis media sosial.
Dari sisi eksternal, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa disingkat UU ITE. Di dalam UU ITE ini, para aktivis media sosial kerap kali terganjal oleh aturan di dalam UU ITE mulai dari pasal 27-29 di dalamnya, dimana ancaman terhadap pelanggar lebih berat daripada aturan pidana di dalam Pasal 310 KUHP. Kebebasan informasi harus berhadapan dengan pasal-pasal karet yang dibuat untuk menghambat informasi: menyebarkan kebencian kelompok, penghinaan, pencemaran nama, hingga hacking. Ancaman ini baru bisa hilang, ketika 3 pasal dalam UU ITE ini direvisi atau dihapus.
Terhadap isu ini, berbagai kasus hukum sudah berkali-kali muncul. Mulai dari Prita Mulyasari yang menulis email mengenai buruknya pelayanan RS Omni, Kho Seng Seng yang menulis surat pembaca, Alexander Aan yang mengupdate status sebagai atheis Minang, dan lain-lain menjadi berita yang kian hari kian jamak muncul di zaman kebebasan informasi ini. Ini menandakan bagaimana tidak terlindunginya warga negara yang menggunakan media sosial untuk menyuarakan pendapatnya. Kondisi yang jelas-jelas bertolak belakang dengan pengakuan artikel 19 PBB yang menyatakan blogging adalah hak setiap individu. Alih-alih bersuara bebas untuk mengkritik kekuasaan, ia bisa digelandang ke penjara.
Dari sisi internal, ancaman datang dari bentuk-bentuk “slacktivisme” yakni bentuk kegiatan online yang tak punya dampak langsung pada perubahan sosial. Bentuknya mulai dari membubuhkan “like” pada status/facebook page hingga petisi online yang tidak mengubah apapun di dalam kenyataan. Ancaman-ancaman ini sangat melemahkan upaya untuk menjadikan media sosial punya dampak kepada perubahan sosial.
Terhadap yang kedua ini, perlahan mulai dikenali sebagai ancaman yang serius karena menjadikan “social cause” hanya sebagai bendera/slogan kosong dari kegiatan marketing. Karena sulit dibedakan antara slacktivisme dan aktivisme sosial di tahapan awal, banyak masyarakat yang terjebak dan kemudian berapriori pada perubahan sosial yang hendak ditawarkan lewat media sosial. Mereka takut perubahan yang ditawarkan hanyalah perubahan semu. Sikap skeptis mulai juga muncul dengan mengatakan bahwa kekuatan media sosial untuk melakukan perubahan sosial tak lain hanyalah gembar-gembor omong kosong dari social media evangelists. Bila skeptisisme ini meluas, bukan tidak mungkin media sosial justru kian melemah.
Agenda Bersama
Bila mengharapkan relasi media sosial dan kekuasaan menjadi kuat, sebagaimana terjadi di banyak negara ketika perubahan kebijakan kota ikut mengundang blogger ke dalamnya, aktivis sosial media terlibat dalam perubahan sosial, maka perlu agenda bersama yang harus disegerakan untuk mengatasi ancaman-ancaman yang kini muncul tersebut. Kita boleh bernafas lega karena pemerintah akan segera merevisi UU ITE tetapi proses revisi ini harus terus dikawal. Terhadap slacktivisme, aktivis sosial media perlu melakukan kampanye publik untuk mendidik masyarakat agar bisa mengenali mana aksi-aksi “semu”/”topeng” dan mana yang betul-betul mengakar dan mendorong demokrasi bottom-up yang sehat.
Selain itu, prasyarat keempat yang diajukan Ulin Yusron agar aktivis media sosial menggelar rapat-rapat untuk merumuskan strategi, taktik, organisasi dan program sudah dalam tahap perlu dimaksimalkan. Tujuannya jelas, agar kebebasan yang didapat lewat perkembangan teknologi informasi ini tidak kemudian malah disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan demi segelintir orang yang ingin berkuasa tahun 2014. Atau yang lebih membahayakan lagi, malah digunakan untuk melemahkan kekuatan madani yang kini ada.
Selamat World Press Freedom Day!
[dam]
Tulisan ini dikembangkan dari materi presentasi “Jalan Lain: Di Balik Internet di Indonesia 1994-2013″ di workshop ICT Watch di acara Traceroute Party, April 2013.
Video presentasi: http://youtu.be/esNOCHZrPfA
Bahan prentasi bisa diunduh di: https://docs.google.com/file/d/0B-yHGtfcvdxxZ0FHWGN0UDNacWs/edit
Sumber:
Wawancara dengan Andreas Harsono, Lisa Febriyanti, Andy Yentriyani
Buku Putih Tempo: Pembredelan Itu, Tim Majalah Tempo, Alumni Majalah Tempo, 1994
Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru, Janet Steele, Agustus 2007
Tentang NCSA Mosaic
Blok M oleh Andreas Harsono
Pressing for Freedom: 20 years of World Press Freedom Dayoleh Unesco
Citizens in @ction oleh Yanuar Nugroho
Sosial Media Sebagai Angkatan Kelima Pilar Demokrasi – Ulin Yusron
Comments